PAM Jaya Jadi Perseroda: Bukan Privatisasi, Tapi Langkah Menuju Air Bersih Merata!
- Istimewa
VIVA Jakarta - Keberadaan air bersih dan distribusinya untuk rakyat menengah ke bawah penting diperjuangkan. Salah satu upaya perjuangan itu mengubah status Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya dari Perusahaan Umum Daerah (Perumda) menjadi Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda).
Hal itu dibahas dalam lokakarya bertajuk 'Menakar Masa Depan Air di Jakarta, Akankah Menjadi Air Mata?” yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jakarta bekerja sama dengan PAM Jaya, di Jakarta, Senin, 6 Oktober 2025.
Komisaris Utama PAM Jaya, Prasetyo Edi Marsudi, menyampaikan perjalanan panjang pengelolaan PAM Jaya yang selama puluhan tahun dikuasai swasta.
Prasetyo menceritakan proses akuisisi terhadap dua perusahaan swasta, Palyja dan Aetra yang bertujuan memastikan pelayanan air bersih merata.
“Masalah PAM itu saya tahu persis. Akhirnya penjajahan selama 25 tahun terlepas dari yang namanya Aetra dan Palyja,” kata Pras, sapaan akrabnya.
Pras mengatakan dana Rp650 miliar untuk akuisisi awalnya sempat berpindah tangan di salah satu bank. Lalu, baru dikembalikan saat Anies Baswedan menjabat Gubernur DKI Jakarta dan digunakan untuk penyertaan modal pembangunan Stadion Jakarta International Stadium (JIS).
Menurut dia, sangat penting distribusi air bersih bagi warga menengah ke bawah.
“Visinya adalah, ke depan sambungkan semua. Menengah ke bawah harus semua terinstalasi,” jelas politikus PDI Perjuangan (PDIP).
Komisaris Utama PAM Jaya Prasetyo Edi Marsudi
- Istimewa
Sementara, Wakil Ketua I MUI Provinsi Jakarta, KH. Yusuf Aman, mengatakan air adalah anugerah Allah SWT dan sumber kehidupan yang mesti dijaga.
“Air adalah anugerah. Ini berangkat dari firman Allah dalam Surah Al-Anbiya, dimana isi Surah itu berbicara tentang masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang,” kata Yusuf.
Yusuf mengatakan, kekurangan cairan bisa menyebabkan dehidrasi. Pun, pemberian air memiliki nilai ibadah tinggi.
“Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah SWT daripada setetes air yang diberikan, baik kepada manusia maupun makhluk lainnya,” tuturnya.
Lebih lanjut, Yusuf menuturkan pentingnya menjaga sumber daya air secara budaya. Hal itu termasuk kearifan lokal masyarakat Betawi.
Adapun, Ketua Relawan Kesehatan Indonesia, Agung Nugroho menyinggung perubahan status PAM Jaya dari Perumda menjadi Perseroda. Menurut dia, ada persepsi salah perubahan status PAM Jaya itu sebagai privatisasi.
“Air adalah anugerah Allah SWT yang paling mendasar bagi kehidupan. Perubahan status PAM Jaya menjadi perseroda bukan hanya momentum strategis yang membawa peluang, tetapi juga tantangan baru,” kata Agung.
Agung bilahg tarif air tetap diawasi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta. Dia menekankan peluang pengelolaan yang lebih profesional dan efisien serta kedaulatan air untuk kepentingan ekonomi daerah. “Mayoritas saham tetap dikuasai Pemerintah Provinsi Jakarta,” ujar Agung.
Kemudian, Dekan Fakultas Administrasi Negara Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Reza Hariyadi, mengatakan dualitas air sebagai barang publik sekaligus barang ekonomi.
Dijelaskan Reza, saat air dipandang sebagai barang publik maka negara memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan tanpa memandang kemampuan ekonomi masyarakat. "Air juga merupakan komoditas ekonomi yang memiliki nilai komersial,” kata Agung.
Bagi dia, penting akuntabilitas publik dalam transformasi PAM Jaya menjadi Perseroda. Tujuan itu agar bisa memenuhi dua fungsi sekaligus yakni menyediakan layanan publik yang merata dan tetap hidup sebagai entitas bisnis yang kuat.
Lokakarya Menakar Masa Depan Air di Jakarta
- Istimewa
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Provinsi Jakarta, KH. Nurhadi menyoroti dimensi teologis pengelolaan air.
“Ini bukan cuma tanggung jawab institusi, tapi ini tanggung jawab teologis,” ujarnya.
Menurut dia, ada tiga pendekatan yaitu Bayani (tekstual, berbasis agama), Burhani (sains dan teknologi untuk kemakmuran rakyat), dan Irfani (tasawuf, maksimalisasi potensi dan manajemen tepat).
Nurhadi menekankan prinsip utama kebijakan publik. Ia mengingatkan saat bicara kekuasaan pemerintahan maka kebijakan pemimpin harus berbasis kemaslahatan rakyat "Bukan kemaslahatan pemegang kuasa,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Panitia Lokakarya yang juga Ketua Bidang Seni Budaya MUI Provinsi Jakarta, KH. Lutfi Hakim menuturkan air sebagai sumber kehidupan yang melampaui aspek material. Kata dia, air memiliki makna spiritual, budaya, dan sosial.
“Air adalah sumber kehidupan itu sendiri. Dan itu diakui sejak peradaban manusia dimulai,” katanya.
Pun, Lutfi mencontohkan tradisi siraman Jawa, upacara melukat Bali, dan simbol air dalam budaya Betawi. Lalu, menyoroti tantangan privatisasi air di Jakarta.
Lutfi menyampaikan pentingnya tata kelola yang transparan dan bertanggung jawab sosial.
"Transformasi PAM Jaya menjadi Perseroda harus dibaca sebagai momentum untuk memperkuat profesionalitas bisnis dan tanggung jawab sosial," ujar Lutfi.
Kemudian, Sekretaris Umum MUI Provinsi Jakarta, KH. Auzai Mahfuz menyebut air sebagai simbol universal dan peradaban. Ia mengatakan air tidak mengenal agama.
"Nabi kita bersabda bahwa manusia memiliki tiga kebutuhan yang harus dipenuhi bersama, bergandengan tangan tanpa memandang keyakinan. Yang pertama adalah air, yang kedua udara, dan yang ketiga adalah api. Tiga hal ini menjadi hak bersama umat manusia,” jelasnya.
Dikatakan Auzai, manusia dari air dapat belajar tentang kebersamaan, keadilan, dan kearifan dalam mengelola alam.
"Air bukan hanya sumber kehidupan, tapi juga sumber strategi, sumber kekuatan, dan sumber peradaban," kata Auzai.