LAB 45: Demokrasi RI Gagal Jadi Katalis Bagi Kelestarian Lingkungan

Analis Ekonomi Politik LAB45, Indah Lestari Saani.
Sumber :
  • Dok. Istimewa

VIVA Jakarta – Indonesia kerap dipuji sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Sejak era reformasi, ruang partisipasi masyarakat terbuka luas, transparansi meningkat, dan tata kelola pemerintahan digadang lebih baik. Secara teori, demokrasi seharusnya mendorong terciptanya pembangunan berkelanjutan dan perlindungan lingkungan hidup.

Namun kenyataan berbicara sebaliknya. Hutan terus ditebang, energi fosil tetap dominan, dan regulasi justru makin melemah. Alih-alih melindungi, demokrasi Indonesia tampak kesulitan menjadi katalis bagi kelestarian lingkungan.

Teori yang Patah di Lapangan

Dalam kajian ekonomi lingkungan, dikenal konsep Environmental Kuznets Curve (EKC). Teori ini menyebutkan bahwa ketika suatu negara mencapai titik puncak pertumbuhan ekonomi, kerusakan lingkungan akan menurun seiring meningkatnya kesadaran dan kemampuan untuk menjaga kelestarian.

Tim analis LAB 45 memaparkan hasil penelitian

Photo :
  • Dok. LAB 45

Indonesia disebut sudah berada di titik itu. Tetapi alih-alih menurun, kerusakan lingkungan tetap terjadi.

“Demokrasi seharusnya bisa menjadi katalis untuk kemudian membuat Indonesia bisa menciptakan lingkungan hidup yang lebih lestari, secara hitung-hitungan kita nyampe nih udah EKC-nya, titik puncaknya itu udah ada, tapi kok kondisinya begini ya? Penebangan masih ada, kemudian kita masih bergantung pada penggunaan energi yang tidak terbarukan,” kata Analis Ekonomi Politik LAB45, Indah Lestari Saani.

Jejak Regulasi Lingkungan

Perjalanan regulasi lingkungan di Indonesia ibarat roller coaster. Pada masa awal kemerdekaan hingga 1970-an, fokus utama negara adalah pembangunan ekonomi. Sumber daya alam dipandang sebagai aset yang wajib dieksploitasi demi pertumbuhan.

Titik balik datang pada 1982, ketika lahir Undang-Undang Lingkungan Hidup pertama. Disusul UU No. 23/1997 yang memberi masyarakat hak atas lingkungan yang baik, lalu diperkuat lagi pada 2009 dengan UU No. 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sayangnya, era sekarang justru ditandai kemunduran. UU Cipta Kerja melemahkan posisi AMDAL—yang sebelumnya berdiri sebagai izin lingkungan mandiri—menjadi sekadar prasyarat terintegrasi dalam izin usaha.

“Padahal secara historis, AMDAL adalah jangkar penting dalam memastikan pembangunan tidak mengorbankan lingkungan. Tapi kini justru dilemahkan dengan alasan efektivitas administrasi,” tegas Indah.

Pengaruh Global, Implementasi Lemah

Indonesia tidak bergerak sendirian. Isu lingkungan global seperti Konferensi Stockholm 1972 dan Protokol Kyoto 1997 mendorong lahirnya kebijakan nasional. Namun, respons itu sering berhenti di atas kertas. Implementasi di lapangan justru lemah, tergerus oleh kepentingan politik dan ekonomi.

“Sejak awal kita selalu merespons isu global, tapi pertanyaan besarnya: apakah itu benar-benar membuat Indonesia lebih hijau? Sayangnya, jawabannya masih belum,” ujar Indah.

Analis Ekonomi Politik LAB45, Indah Lestari Saani.

Photo :
  • Dok. Istimewa

Demokrasi yang Abai Lingkungan

Inilah paradoks terbesar. Demokrasi memberi ruang bagi partisipasi publik, tapi dalam praktiknya kepentingan elite ekonomi-politik lebih dominan. Suara masyarakat lokal yang terdampak langsung kerusakan lingkungan sering kalah oleh kekuatan modal.

“Demokrasi kita belum mampu menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat. Inilah problem utama yang harus kita jawab bersama,” tutur Indah.

Menuju Demokrasi Hijau

Indonesia telah membuktikan mampu merumuskan regulasi progresif. Namun konsistensi dan keberpihakan masih lemah. Demokrasi yang sehat semestinya tak hanya bicara soal kebebasan politik, tetapi juga memastikan hak generasi mendatang atas lingkungan yang layak.