Desak Kapolri Mundur, Politikus Demokrat: Jargon Manis Presisi Terdengar Makin Hampa
- Dok. Istimewa
VIVA Jakarta - Insiden tewasnya seorang driver ojol Affan Kurniawan (21), karena dilindas kendaraan taktis atau rantis Brimob saat demo ricuh membuat Polri menuai kecaman. Muncul desakan agar Kapolri Listyo Sigit Prabowo mundur.
Desakan mundur itu salah satunya disuarakan politikus Partai Demokrat Didi Irawadi Syamsuddin. Menurut Didi, Kapolri Sigit saat ini berada di titik nol sehingga harus mundur karena kepercayaan publik ambruk.
Dia menyinggung Polri di era Listyo Sigit Prabowo lebih sering sibuk memadamkan api yang justru berasal dari dalam internal institusi korps Bhayangkara. Hal itu lebih sering ketimbang menjaga rasa aman masyarakat.
"Tahun demi tahun, publik disuguhi deretan skandal besar yang mencoreng Polri: tragedi Kanjuruhan, drama Sambo, narkoba ala jenderal Teddy Minahasa, gagal ungkap kasus KM 50, hingga kasus-kasus kecil yang baru ditindak setelah viral di media sosial," kata Didi, dalam keterangannya kepada awak media, Minggu, 31 Agustus 2025.
Didi mengkritisi bukannya tampil sebagai pengayom rakyat, Polri di era Listyo Sigit justru menghadapi begitu banyak masalah internal. Kondisi itu menambah buruk citra polisi.
Dia menyindir kembali tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang yang menyebabkan ratusan nyawa melayang akibat gas air mata yang ditembakkan di ruang sempit. Lalu, skandal Ferdy Sambo yang menembak mati seorang ajudannya yakni Brigadir J.
Politikus Partai Demokrat Didi Irawadi.
- Istimewa/Dok. Didi Irawadi
Begitu pun menurutnya kasus Teddy Minahasa hingga kejanggalan perkara penembakan enam anggota ormas di jalan tol KM 50.
"Dalam kasus yang penuh tanda tanya dan hingga kini tak pernah benar-benar tuntas; hingga sejumlah perwira bermasalah yang ironisnya justru dipromosikan. Di mana letak reformasi yang dijanjikan?" tutur politikus yang juga lawyer itu.
Lebih lanjut, tewasnya ojol Affan merupakan tragedi terbaru yang menambah luka dari Polri.
Ia heran seorang ojol dilindas rantis barakuda milik Brimob saat penanganan demo rusuh di sekitaran DPR, Kamis malam, (28/8).
"Nyawa rakyat seolah begitu murah di mata aparat. Padahal, ojek online adalah potret pekerja kecil yang mencari rezeki halal setiap hari," tutur eks Anggota DPR RI itu.
"Kejadian ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan gambaran telanjang bagaimana kepolisian bisa kehilangan empati dihadapan rakyatnya sendiri," ujar Didi.
Selain itu, ia menyoroti masih terjadi kasus-kasus korupsi yang menyeret perwira tinggi. Lalu, pola lama penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk membungkam kritik.
Bagi dia, semuanya itu kian mempertebal krisis kepercayaan publik terhadap Polri.
"Di tengah semua itu, jargon manis Presisi, humanis, responsif yang kerap diucapkan Kapolri terdengar makin hampa. Karena di lapangan, yang benar-benar responsif hanyalah gas air mata, peluru karet, kendaraan taktis, dan pasal karet," tutur Didi.
Lebih lanjut, dia bilang Kapolri seharusnya menjadi pagar terakhir tempat rakyat mencari perlindungan dan keadilan. Didi menuturkan ada dua pilihan sikap yang bisa diambil Listyo Sigit sebagai pucuk pimpinan Polri.
"Kini, pilihannya hanya dua: Listyo berani memperbaiki borok institusinya sendiri secara serius, atau tetap memilih jalan aman dengan terus menambal citra yang retak," lanjut Didi.
Tapi, menurut dia, Langkah terhormat untuk Listyo Sigit adalah mundur dari posisinya. "Tetapi sejarah tidak menulis jargon. Sejarah menulis kegagalan. Karena itu, langkah paling terhormat sekaligus paling logis justru sederhana: Kapolri harus mundur," sebut Didi.