Pengamat Sebut Sarana Jaya Perlu Evaluasi Serius, Meski Laba 2024 Tercatat Positif

Sarana Jaya
Sumber :
  • Dok. Istimewa

VIVA Jakarta – Di atas kertas, kinerja Perumda Pembangunan Sarana Jaya terlihat manis. Perusahaan pelat merah DKI itu menutup buku 2024 dengan laba bersih Rp27,33 miliar. Namun, bila dicermati lebih dalam, laporan keuangan dan dokumen pengesahan justru jauh dari kata sehat.

Ekuitas perusahaan tercatat minus Rp52,55 miliar dibandingkan modal disetor. Artinya, kerugian masa lalu belum tertutup sebagaimana diatur dalam PP No.54/2017 tentang BUMD. Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar soal arah pengelolaan keuangan perusahaan.

“Ekuitas perusahaan tercatat minus Rp52,55 miliar dibandingkan modal disetor, menandakan kerugian masa lalu belum tertutup sebagaimana diatur dalam PP No.54/2017 tentang BUMD.” tegas M. Peter, Direktur Badan Kajian Ekonomi dan Pemerhati BUMD Indonesia, kepada wartawan, Kamis (21/8).

Efisiensi Palsu: PHK dan Rekrutmen Baru

Ironi berikutnya ada pada kebijakan efisiensi. Sarana Jaya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sejumlah pegawai. Namun anehnya, perusahaan justru membuka rekrutmen pegawai baru dalam jumlah lebih besar. Peter menilai langkah itu kontradiktif.

“Ironisnya, rekrutmen pegawai baru justru dilakukan dalam jumlah lebih banyak. Kebijakan yang kontradiktif ini memunculkan dugaan bahwa efisiensi hanya menjadi dalih tanpa strategi konsolidasi yang jelas.,” kritiknya.

Piutang Macet Rp68,56 Miliar Dibiarkan Menggantung

Peter mengatakan, Audit menemukan piutang Rp68,56 miliar kepada PT Kuala Jaya Realty macet lebih dari 90 hari tanpa kesepakatan resmi. Sesuai aturan PSAK 71, piutang seharusnya dicadangkan penuh sebagai kerugian.

“Namun manajemen hanya mengandalkan janji pembayaran Rp2 miliar hingga akhir 2024.

Masalah lain muncul dari aset tanah Pondok Rangon/Munjul senilai Rp151,22 miliar yang terjerat kasus korupsi. Meski KPK memproses hibah aset ke Pemprov DKI, kata Peter, belum ada kepastian pengembalian nilai kepada Sarana Jaya. 

“Manajemen secara sepihak menyatakan yakin pengembalian nilai akan dilakukan, baik dalam bentuk pengurangan PMD atau aset lain. Sikap ini dinilai sebagai pengambilan risiko besar tanpa dasar administratif yang kuat,” ujarnya

Selain itu, Peter mengatakan, proyek pengolahan sampah ITF senilai Rp38,91 miliar mandek setelah Pemprov memprioritaskan RDF. Dana pra-operasi yang telah keluar berpotensi hangus tanpa pencadangan kerugian.

Benang merah dari semua masalah ini, lanjutnya, adalah lemahnya koordinasi dan sinkronisasi dengan Pemprov. Kebijakan strategis lebih sering diambil berdasarkan keyakinan internal manajemen, bukan keputusan resmi pemilik modal.

Pengesahan laporan tahunan 2024 pun disertai poin yang tak selaras aturan, termasuk penggunaan dana pensiun dan sosial di luar RKAP. Kombinasi piutang macet, aset bermasalah, proyek mangkrak, dan kebijakan kontradiktif membuat posisi Sarana Jaya rawan.

“Dengan kondisi ini, publik menanti langkah pembenahan serius, mulai dari penertiban piutang, penyelesaian aset bermasalah, evaluasi proyek yang tidak produktif, hingga konsistensi kebijakan efisiensi. Tanpa itu semua, rapor merah Sarana Jaya berisiko semakin tebal di tahun-tahun mendatang,” ujarnya