Natalia Rusli Bela Nenek 94 Tahun, Bongkar Dugaan Mafia Tanah di Pekanbaru
- Kolase foto
VIVA Jakarta – Kasus mafia tanah kembali mencuat. Kali ini, menyentuh nasib pilu seorang nenek berusia 94 tahun bernama Kartini. Tanah warisan almarhum suaminya, Mahmud, diduga dirampas oleh oknum mafia tanah bernama Arbain. Akibatnya, Kartini harus bertahan hidup di gubuk reyot.
Perjuangan Kartini bukanlah perkara singkat. Selama dua dekade ia berseteru di meja hijau, menghadapi praktik mafia tanah yang disebut-sebut mendapat perlindungan dari oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pekanbaru dan hakim pengadilan.
Nama Arbain sendiri kerap disebut dalam berbagai pemberitaan kasus tanah. Pria asal Sunter Agung, Jakarta Utara, itu diduga berulang kali terlibat dalam sengketa lahan yang membuat warga Pekanbaru menderita.
Dalam kasus Kartini, Arbain mengklaim kepemilikan tanah menggunakan sertifikat 525 yang disebut terbitan BPN Pekanbaru. Sertifikat itu dijadikan dasar hakim PN Pekanbaru memenangkan Arbain. Namun ironisnya, hingga kini Arbain tak pernah bisa menunjukkan dokumen asli sertifikat tersebut.
Pengacara kondang Natalia Rusli akhirnya turun tangan. Ia menegaskan komitmennya untuk membela Kartini.
“Saya siap perang membela nenek 94 tahun ini, saya merasa tertantang jika lawan yang saya hadapi semakin kuat apalagi kebal hukum. Kita akan gandeng KY, Bawas dan kita akan bongkar kejanggalan-kejanggalan dalam persidangan dengan fakta-fakta yang ada, karena ini seorang nenek 94 tahun yang harus tinggal di gubuk karena dizolimi oleh oknum-oknum mafia tanah,” tegas Natalia.
Kejanggalan dalam Dokumen
Sejumlah kejanggalan pun muncul dalam sengketa ini, antara lain:
• Objek tanah tercatat di Jalan Jenderal Sudirman, tetapi klaim Arbain ada di Jalan Jenderal A. Yani.
• Luas tanah mencapai 27.836 m², sementara tanah Kartini hanya 16.000 m².
• Harga jual beli lahan hanya Rp6 juta untuk hampir 3 hektare.
• Tanda tangan akta jual beli dinilai tidak jelas, bahkan tanda tangan Arbain berbeda dengan dokumen pembeli.
• Pajak tanah selama ini dibayar pihak ahli waris, sementara Arbain tak pernah bisa menunjukkan bukti pembayaran.
Sebelumnya, Kartini sempat menang telak di PN Jakarta Utara, putusan ini dikuatkan hingga tingkat Mahkamah Agung melalui PK. Namun dalam PK kedua, hasil berbalik—Arbain kembali dimenangkan, dengan proses yang disebut secepat “kereta Shinkansen”.
Natalia pun menantang Arbain secara terbuka.
“Untuk Arbain saya tantang anda untuk menunjukan sertifikat tanah di km 6 jalan Jenderal Sudirman dengan nomor 525 jika memang benar tanah tersebut milik anda, saya tantang anda. Dan saya tegaskan saya juga akan ke BPN Pekanbaru, dan saya tidak takut siapa orang dibelakang Arbain,” katanya.
Cermin Buram Hukum Agraria
Kasus ini menyoroti wajah buram penegakan hukum agraria di Indonesia. Di usia hampir seabad, Kartini justru harus menanggung derita akibat tanah warisannya diduga dimainkan mafia dengan dukungan oknum aparat.
Natalia pun mengingatkan Arbain soal usia.
“Pesan saya mengingat usia pak Arbain sudah tua lebih baik pak Arbain banyak bersedekah buat bekal di surga. Saya akan bongkar praktik mafia tanah di Pekanbaru, karena yang saya bela adalah orang miskin di Pekanbaru, ingat pak kita semua akan kembali ke tanah,” ujar Natalia.
Ia juga menegaskan agar tidak ada pihak yang coba melibatkan pengaruh di Pekanbaru untuk menghalangi upaya hukum.
“Dan gak usah gandeng orang-orang yang punya pengaruh di Pekanbaru. Apalagi dengan lancang seenaknya mengukur tanah ahli waris tanpa menunjukkan sertifikat asli tanah tersebut,” tambahnya.
Kasus Kartini kini menjadi sorotan publik, bukan hanya soal sengketa tanah, tapi juga tentang keadilan yang sering kali terasa jauh dari rakyat kecil.