Jual Tanah Rp7,1 Miliar dengan Dokumen Palsu, Terdakwa Mafia Tanah Hanya Dituntut 3 Tahun

Ilustrasi keadilan.
Sumber :
  • Istimewa/AI

VIVA Jakarta - Dua orang korban mafia tanah, SP dan AS, kecewa dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari Kejari Depok terkait kasus dugaan mafia tanah. Sebab, terdakwa inisial MS hanya dituntut dengan tiga tahun penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri, Depok, Jawa Barat.

 

Kuasa hukum AS dan SP dari EDS Law Office Jakarta, Eko Djasa menyampaikan bahwa kliennya mengalami kerugian sekitar Rp 7 miliar lebih. Kerugian itu karena polemik penjualan tanah sebidang 15 ribu meter persegi.

 

Dalam kasus ini, tanah milik AS dan SP dijual terdawa MS. Tanah itu berlokasi di Jalan Bhineka IV RT 003 RW 009, Pasir Gunung Selatan, Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat (Jabar). Status tanah itu dengan Sertifikat Hak Milik (SHM).

 

Tentu kami sangat kecewa terhadap tuntutan jaksa karena tuntutan 3 tahun terhadap terdakwa MS tidak sebanding dengan kerugian klien kami,” kata Eko kepada wartawan dikutip pada Rabu, 20 Agustus 2025.

 

Padahal, menurut Eko, terdakwa MS mengaku telah menjual tanah kliennya kepada 26 orang dengan memalsukan dokumen. Pengakuan terdakwa MS terungkap dalam persidangan yang berlangsung di PN Depok.

 

Kuasa hukum AS dan SP dari EDS Law Office Jakarta, Eko Djasa.

Photo :
  • Istimewa

 

 

Eko menuturkan ada sejumlah bukti yang menguatkan bahwa terdakwa MS tak berhak menjual tanah kliennya.

 

Dia mengatakan demikian berdasarkan pertanyaan jaksa yang merujuk pada pasal 263 KUHP (dakwaan alternatif dari JPU kepada Muhamad Soleh).

 

"Yang secara nyata menjual tanah korban kepada 26 konsumen dengan memalsukan dokumen tanah dari korban seperti pembuatan dokumen PPJB yang seharusnya dibuat oleh notaris maupun oleh PPAT," jelas Eko.

 

Cara culas terdakwa dengan membuat dokumen palsu tanpa notaris.

 

"Tapi, itu dibuat sendiri oleh terdakwa MS atas saran Teguh anak-buahnya terdakwa. Namun, semua keuangan hasil penjualan tanah korban senilai 7,1 miliar diakui diterima langsung melalui rekening terdakw,” kata Eko.

 

Lebih lanjut, Eko menambahkan terdakwa MS juga mengakui kesalahannya saat ditanya majelis hakim. Meski demikian, JPU tetap menuntut terdakwa MS dengan hanya 3 tahun penjara.

 

“JPU menggunakan pasal 385 KUHP tentang tindak pidana penyerobotan tanah yaitu dituntut 3 tahun penjara,” jelas Eko.

 

Eko pun menyayangkan JPU yang tak menggunakan pasal 263 KUHP dengan tuntutan maksimal adalah 6 tahun penjara kepada terdakwa MS. Bagi dia, tuntutan 3 tahun penjara terhadap terdakwa MS tak sebanding dengan kerugian yang dialami kliennya.

 

Padahal pencuri saja bisa dituntut maksimal 5 tahun penjara. Ini terdakwa mengakui melakukan pembuatan PPJB palsu dan dilegalisir di notaris dengan melengkapi dokumen palsu tapi dituntut hanya 3 tahun penjara,” tutur Eko.

 

Eko menaruh harapan agar Majelis Hakim PN Depok menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi untuk menegakan keadilan. Ia meminta agar majelis hakim bisa menjerat terdakwa MS dengan hukuman secara maksimal.

 

Menurut dia, hukuman maksimal untuk mengantisipasi korban mafia tanah di kemudian hari.

 

Mudahan majelis hakim memihak masyarakat yang dirugikan (korban) atas kasus mafia tanah yang ada di Pengadilan Negeri Depok,” ujar Eko.

 

Dalam perkara ini, majelis hakim yang mengadili adalah Dwi Novita Purbasari sebagai hakim ketua. Lalu, Anak Agung Niko Brama Putra dan Fitri Noho selaku hakim anggota.