Pidato Prabowo di PBB Berani tapi Penuh Tantangan, Ini Analisanya
- Dok Pribadi
VIVA Jakarta – Pidato Presiden RI Prabowo Subianto di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), disebut sebagai langkah diplomasi yang ambisius dan juga berani. Sebab penegasan Presiden dalam pidatonya itu, menempatkan Indonesia pada posisi yang tegas dalam situasi global saat ini, terutama menyangkut ketidakadilan.
"Secara keseluruhan, pidato Prabowo di Sidang Umum PBB adalah upaya diplomasi moral yang ambisius dan berani. Ia menempatkan Indonesia di antara suara negara-negara yang menolak rezim kekuasaan unilateral dan mendukung keadilan global," jelas pengamat hubungan internasional, Hafid Adim Pradana, dalam penjelasannya kepada VIVA Jakarta, Kamis 25 September 2025.
Prabowo Subianto pidato di Sidang Umum PBB.
- Akun X Prabowo
Hanya saja, menurut Direktur Eksekutif Renaissance Political Research and Studies (RePORT) Malang itu, tantangan terbesar dari pidato tersebut adalah pada kapasitas negara untuk menjadikannya sebagai pijakan dalam diplomasi yang lebih nyata dan konsisten. Bukan saja pada kekuatan retorika.
"Bagi Indonesia sebagai negara yang tengah memperkuat reputasinya di panggung dunia, momentum ini harus dijaga dengan tindakan-tindakan nyata yang menunjukkan bahwa suara moral itu bukan hanya gema kosong, melainkan kekuatan diplomatik yang berdaya dan kredibel," jelasnya.
Lebih lanjut, Hafid yang juga pengajar Hubungan Internasional di FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu mengatakan, pada tingkat retorika, Presiden menempatkan Indonesia sebagai suara keadilan global yang menolak “doktrin kekuatan”, dimana yang kuat berbuat semaunya dan yang lemah menanggung akibatnya.
"Ia secara tegas mengutip Thucydides: “the strong do what they can, the weak suffer what they must”— kemudian menyatakan bahwa PBB hadir untuk menolak doktrin demikian, dan bahwa Indonesia siap membela mereka yang lemah maupun kuat," katanya.
Target yang Disasar
Dua target yang disasar dari pidato Presiden Prabowo, menurut Hafid adalah pertama, mengukuhkan posisi Indonesia sebagai negara yang pro-multilateralisme dan pengusung keadilan internasional.
Lalu yang kedua, memperkuat citra Indonesia sebagai mediator moral dalam konflik global, khususnya isu Palestina-Israel. Ini tercermin dari kesiapan Indonesia mengirim pasukan perdamaian hingga 20 ribu pasukan bila diminta PBB.
"Prabowo tidak hanya berbicara tentang solidaritas, tetapi juga menyiratkan kapasitas aksi nyata. Pernyataan ini menegaskan bahwa Indonesia ingin tampil bukan hanya sebagai negara pendukung tetapi juga sebagai aktor operasional di ruang konflik," jelasnya.
Tantangan Global Indonesia
Presiden RI Prabowo Subianto pidato di Sidang Umum PBB.
- Instagram Presiden Republik Indonesia
Akan tetapi, aspek pidato juga menurutnya mengundang pertanyaan. Seperti nilai universal yang diangkat tersebut sejatinya berjalan pada garis tipis antara moral high ground dan retorika idealisme, kata Hafid.
"Bagaimana memastikan bahwa komitmen moral demikian dapat diterjemahkan menjadi kebijakan konkret dan konsisten, tanpa terjebak sebagai “speech diplomacy” semata? Indonesia harus mampu menunjukkan bahwa klaim moral itu juga dilengkapi oleh kapasitas institusional dan diplomatik yang tangguh," terangnya.
Lanjutnya, yang menjadi pertanyaan juga adalah terkait penekanan solusi dua negara yang menjadi jalan perdamaian. Menurutnya ini memang konsisten dalam platform diplomatik global. Tapi praktiknya sangat kompleks. Seperti dalam pernyataan kalau Indonesia sekaligus menjamin keamanan Israel untuk perdamaian.
"Klaim ini menuntut keseimbangan diplomatik yang sangat rapuh: di satu sisi menyuarakan keprihatinan rakyat Palestina atas penderitaan dan legitimasi, dan di sisi lain menjaga hubungan diplomatik (termasuk terhadap Israel dan sekutunya). Tantangan nyata muncul ketika tekanan politik dan diplomatik di forum PBB atau Dewan Keamanan menuntut konsistensi tindakan, bukan hanya retorika," bebernya.
Lebih lanjut, Hafid mengatakan dari perspektif keamanan ontologis (kebutuhan manusia agar merasa aman), pesannya memang penting tetapi implementasi yang sulit. Jelasnya, dalam pidato tersebut disebutkan kalau dunia tak boleh diam melihat rakyat Palestina menderita dan diberlakukan tidak adil.
Tetapi, lanjutnya, bagaimana kontribusi pada mekanisme perlindungan sipil atau advokasi diplomatik yang konkret. Dalam persoalan ini, apakah ada peran Indonesia pada lembaga internasional, seperti dalam bantuan kemanusiaan dan inisiatif perdamaian lokal yang lebih aman.
"Tanpa langkah-langkah konkret, narasi moral bisa kehilangan kredibilitas," sebutnya.
Tekanan real politik dari pidato Presiden Prabowo di PBB terutama dari negara-negara besar, menurutnya juga bisa terjadi. "Klaim bahwa “tiada negara yang dapat menindas seluruh komunitas manusia” dan bahwa “kita mungkin lemah secara individu, tetapi rasa penindasan yang bersatu akan menjadi kekuatan” adalah kalimat yang bergema dan menggugah,".
"Sekalipun demikian, dalam arena internasional, sikap moral seperti itu akan diuji oleh dinamika geopolitik, tekanan kekuatan besar, kepentingan strategis, dan aliansi. Apakah Indonesia akan mampu menjaga konsistensi sikap ketika menghadapi tekanan diplomatik, ekonomi, atau tekanan dari aktor-aktor global?" lanjut Hafid.
Hafid menegaskan, pidato yang disampaikan Presiden Prabowo di PBB bisa menjadi titik balik diplomasi Indonesia di global. Menguatkan peran Indonesia dalam perdamaian internasional serta diplomasi yang multilateral.
"Jika diikuti dengan tindakan yang terukur — seperti peningkatan kontribusi terhadap misi perdamaian PBB, diplomasi aktif dalam mediasi Timur Tengah, dan advokasi hak-hak sipil rakyat Palestina dalam forum PBB — pidato ini bisa menjadi pijakan awal transformasi diplomasi Indonesia dari “pengikut diplomasi moral” menjadi “penggerak diplomasi keadilan”," jelasnya.
Tapi sebalikya, bila tidak diimbangi implementasi dan konsistensi kebijakan luar negeri, pidato tersebut bisa saja hanya dianggap simbolik diplomatik hingga lebih cepat memudar.
"Publik dan komunitas internasional akan melihat apakah Indonesia akan mengubah kata menjadi karya — misalnya melalui pengiriman bantuan kemanusiaan, pemanfaatan musyawarah internasional, atau kampanye diplomatik yang sistemik,".