Sindir KPU Rahasiakan Dokumen Syarat Capres, Ray Rangkuti: Aneh bin Ajaib Penganut Paham Mulyonoisme
- Dok. Pribadi Ray Rangkuti
VIVA Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah menuai kritik publik karena manuvernya menetapkan keputusan yang merahasiakan 16 dokumen syarat capres dan cawapres. Cara KPU itu dinilai bertentangan dengan prinsip pemilu demokratis.
Salah satu yang mengkritik keras adalah pengamat politik Ray Rangkuti. Dia heran dengan Surat Keputusan KPU No 731/2025 tentang dokumen capres dan cawapres yang dikecualikan untuk dibuka kepada umum.
Bagi dia, keputusan KPU itu aneh karena dirinya tak punya argumen yang rasional dan progresif.
"Sangat aneh bin ajaib. Saya tidak mendapatkan argumen yang rasional, progresif dan menunjang pemilu yang jurdil di dalamnya," kata Ray saat dikonfirmasi VIVA Jakarta, pada Senin, 15 September 2025.
Ray menyindir aturan ala KPU bertentangan dengan prinsip pemilu demokratis. Dia mengingatkan demokrasi itu menganut prinsip Utama terkait transparansi, partisipasi dan akuntabel.
"Prinsip ini juga diatur dalam UU No 7/2017 Pasal 5 ayat (2), yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu dilakukan berdasarkan asas terbuka, akuntabel, dan profesional, serta dalam Pasal 474, yang mengatur partisipasi masyarakat dalam pemantauan dan pengawasan pemilu," lanjut Ray.
{{ photo_id=1354 }}
Pun, ia mengingatkan 16 poin yang dibatasi KPU untuk dapat diakses justru merupakan poin penting dan urgent. Ray mencontohkan dokumen laporan harta kekayaan pribadi capres dan cawapres ke KPK, surat pengadilan belum pernah dipenjara, hingga bukti kelulusan berupa ijazah.
"Yang paling ajaib, ketentuan dimaksud tidak lagi berlaku setelah 5 tahun pemilu. Alias, saat di mana tidak lagi dibutuhkan untuk mengetahui dan menguji keabsahan administratif mereka, baru dokumen yang dimaksud dapat diakses," jelas Ray.
Bagi dia, keputusan KPU itu benar-benar terbalik. Ray menyoroti bukan sekali ini saja KPU membuat aturan yang bertolak belakang dengan kemajuan pemilu jurdil dan demokrasi.
Ray mencontohkan saat KPU yang dipersoalkan karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres saat di mana PKPU belum diubah. Begitupun keputusan lain KPU yang tak mendukung untuk kebaikan pemilu.
"Soal ketentuan tidak membulatkan bilangan desimal ke 1% untuk pemenuhan 3% calon perempuan di dapil kalah di pengadilan. Jadi, kita menemukan anggota KPU yang terlihat enggan mendorong pemilu jurdil, transparan, partisipatif dan akuntabel," tutur Ray.
Lebih lanjut, ia menyinggung KPU yang seperti lebih nyaman berlindung di belakang kehendak partai politik daripada mendorong satu pemilu yang mengarusutamakan partisipasi, transparansi, akuntabilitas.
"Utamanya juga mencegah para koruptor atau calon koruptor masuk ke jabatan publik. Salah satunya adalah mendorong keterbukaan informasi atas harta kekayaan para capres/cawapres. Bukan menutupnya," sebut Ray.
Ray menyindir KPU sebagai petugas Komisi II DPR. Ia mengatakan demikian karen KPU banyak membuat aturan yang mereka buat lebih sesuai dengan keinginan partai politik.
Namun, ia menyebut KPU bukan sekadar petugas Komisi II DPR. Tapi, ia menyindir KPU sebagai penganut paham Mulyonoisme.
"Sekarang, saya kira, KPU bukan saja terlihat sebagai petugas Komisi II tapi juga seperti penganut paham Mulyonoisme. Paham yang melihat transparansi, partisipasi, akuntabilitas sebagai gangguan dan menciptakan buzzer sebagai jawaban," tutur Ray.