Pengamat: UUD 45 Wajib Jadi Dasar Keadilan Tambang bagi Gubernur dan Daerah
- AI
Jakarta – Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi, angkat bicara terkait pernyataan mengejutkan yang disampaikan Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, dalam rapat bersama Komisi II DPR RI. Haidar menyebut, apa yang diungkapkan Anwar Hafid soal tidak diberinya akses terhadap kawasan industri tambang Morowali, merupakan alarm keras akan carut-marutnya sistem pengelolaan tambang nasional.
“Kalau gubernur sebagai wakil rakyat di daerah tambang tak diberi kuasa, ada yang sangat keliru dalam penerapan undang-undang,” tegas Haidar Alwi, dikutip Minggu, 4 Agustus 2025.
R Haidar Alwi
- Istimewa
Gubernur Tak Diakui, Keadilan Pun Terkikis
Menurut Haidar, apa yang dialami Gubernur Anwar Hafid bukan sekadar konflik administratif, melainkan soal harga diri kepala daerah dan mandat konstitusionalnya. Ia menyoroti kondisi ironis di mana seluruh perizinan pertambangan ditarik ke pusat, bahkan NPWP perusahaan-perusahaan tambang besar di Morowali terdaftar di Jakarta, bukan di lokasi mereka beroperasi.
“Tambang dikelola korporasi besar, rakyat daerah hanya jadi penonton di tanah sendiri,” ujar Haidar. Ia menambahkan bahwa posisi gubernur kian digeser menjadi simbol politik belaka, tanpa kontrol riil atas sumber daya di wilayahnya.
Dampaknya, kata Haidar, terlihat nyata: daerah penghasil hanya mendapat dana bagi hasil ratusan miliar, sementara menanggung penuh dampak ekologis, sosial, dan ekonomi akibat eksploitasi tambang.
Pasal 33 UUD 1945, Kompas yang Terabaikan
Lebih lanjut, Haidar menyoroti bahwa semangat Pasal 33 UUD 1945 seharusnya menjadi dasar dalam menyusun kebijakan pertambangan nasional. Ia menegaskan, kekayaan alam yang dikuasai negara wajib digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, termasuk mereka yang hidup di sekitar tambang.
Namun yang terjadi, kata dia, justru sebaliknya. “UU Minerba, UU Perizinan Berusaha, bahkan UU Cipta Kerja justru menjauh dari roh konstitusi. UUD 45 diperlakukan hanya sebagai referensi, bukan arah kebijakan,” ujarnya.
Haidar juga mengkritik kuat sistem sentralisasi fiskal dan teknokratisasi hukum yang kian menyingkirkan daerah dari kedaulatan ekonominya sendiri.
Enam Solusi Konkret untuk Tata Kelola Tambang
Sebagai solusi, Haidar Alwi mengusulkan enam langkah untuk membenahi sistem tambang agar lebih adil dan sesuai UUD 1945:
1. Revisi UU Minerba dan UU Perizinan Usaha untuk mengembalikan otoritas daerah, terutama dalam hal pengawasan dan pengendalian lingkungan.
2. Pajak tambang harus dikenakan di hilir, bukan hulu, agar nilai tambah industri ikut dinikmati oleh daerah penghasil.
3. NPWP perusahaan tambang besar wajib terdaftar di lokasi operasional utama, bukan di Jakarta.
4. Pembentukan Koperasi Daerah Sumber Daya (KDSD), dengan saham wajib bagi masyarakat lokal dalam setiap proyek tambang.
5. Dana Konstitusional Keadilan Sumber Daya (DK2SD) sebesar 5% dari nilai ekspor hasil tambang dialokasikan langsung untuk daerah.
6. Lembaga audit sosial independen di tingkat provinsi, untuk memantau dampak dan akuntabilitas setiap proyek ekstraktif.
Saatnya Taat Konstitusi, Bukan Hanya Menyebutnya
Haidar Alwi menambahkan bahwa penyelesaian persoalan tidak cukup melalui pendekatan teknokratik, tapi harus ditopang dengan kesadaran konstitusional.
“UUD 45 tidak sekadar memandatkan pengelolaan sumber daya, tapi juga menuntut keberpihakan pada rakyat yang terdampak langsung. Mereka bukan hanya pihak yang harus dilindungi, tapi harus dilibatkan,” ujar Haidar.
Haidar Alwi mengajak semua pihak, eksekutif, legislatif, dan masyarakat sipil, untuk bersama-sama menata ulang sistem tambang nasional, agar lebih manusiawi, adil, dan sesuai semangat konstitusi.
“Jangan sampai kita terus membiarkan rakyat daerah tambang hidup dalam ketimpangan, sementara kekayaannya dibawa keluar. Kalau kita masih percaya pada UUD 45, maka inilah saatnya menegakkannya dengan sungguh-sungguh,” pungkas Haidar Alwi.