Etanol Bikin BBM Boros dan Mesin Cepat Rusak? Begini Penjelasan Pakar Energi

Ilustrasi pengisian BBM
Sumber :
  • Dok. Istimewa

VIVA Jakarta – Sejumlah pakar energi menilai kekhawatiran sejumlah operator SPBU swasta seperti BP-AKR, Shell, dan Vivo terhadap kandungan etanol dalam base fuel Pertamina tidak memiliki dasar teknis yang kuat. 

Warga Puncak Adang Menteri LH Hanif Faisol, Protes Penyegelan Lokasi Ekowisata

Mereka menegaskan, kadar etanol sebesar 3,5 persen justru aman, sesuai standar internasional, serta memberikan manfaat bagi lingkungan.

Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yus Widjajanto, menjelaskan bahwa kandungan energi etanol memang lebih rendah dibanding bensin—yakni sekitar 26,8 hingga 29,7 megajoule per kilogram (MJ/kg), sedangkan bensin mencapai 40 MJ/kg. Namun, perbedaan itu dinilai tidak berdampak signifikan terhadap performa kendaraan.

Kebakaran di Kilang Dumai Berhasil Ditangani, Korban Jiwa Nihil

“Jadi kalau kandungan etanolnya hanya 3,5 persen, energi yang turun hanya sekitar 1 persen. Artinya daya mesin hanya berkurang sekitar 1 persen, dan itu tidak akan terasa. Dikonsumsi bahan bakar tidak akan lebih boros, di tarikan kendaraan tetap enak aja,” ujar Tri, Senin, 6 Oktober 2025.

Ia menambahkan, secara internasional penurunan daya baru terasa jika sudah mencapai 2 persen. Dengan kadar etanol 3,5 persen, pengendara tidak akan merasakan perbedaan pada konsumsi bahan bakar maupun tarikan mesin.

Kilang Dumai Pertamina Kebakaran, Petugas Fokus Upayakan Pemadaman

Tri juga menyebut etanol memiliki Research Octane Number (RON) tinggi, sekitar 110–120. Penambahan etanol sebesar 3,5 persen pada bensin dapat meningkatkan RON hingga 3,85–4,2 poin. Kadar ini jauh di bawah ambang batas yang digunakan di berbagai negara.

“Bahkan Shell di Amerika pun menjual bensin yang dicampur etanol 10%, dan di sana baik-baik saja, tidak ada masalah dengan mesin kendaraan. Bahkan di Brazil kadar etanolnya sampai 85%, Australia juga sudah pakai,” jelasnya.

Ia menilai sikap sejumlah operator SPBU swasta yang menolak base fuel Pertamina terlalu berlebihan.

“Saya melihat ini lebih ke isu yang digunakan untuk menekan pemerintah agar mengeluarkan lagi kuota impor mereka,” ucap Tri.

Dosen Jurusan Rekayasa Minyak dan Gas Institut Teknologi Sumatera (ITERA), Muhammad Rifqi Dwi Septian, juga menilai penggunaan etanol justru membawa efek positif terhadap kualitas udara.

“Etanol memiliki kandungan oksigen yang tinggi, sehingga pembakarannya lebih sempurna. Itu membuat kadar karbon monoksida dan hidrokarbon tidak terbakar bisa berkurang, artinya lebih ramah lingkungan,” ujarnya.

Menurut Rifqi, penambahan etanol juga membantu meningkatkan angka oktan bahan bakar di kisaran 108–113, yang berdampak positif terhadap efisiensi pembakaran di mesin kendaraan.

“Semakin tinggi oktan, semakin efisien proses pembakaran di mesin. Ini justru bagus untuk performa kendaraan,” tuturnya.

Ia menepis kekhawatiran bahwa etanol bisa menyebabkan karat atau kerusakan pada mesin.

“Kalau produksinya sesuai standar dan sistem penyimpanannya baik, risikonya sangat kecil. Apalagi kendaraan modern sekarang sudah kompatibel dengan bahan bakar campuran etanol,” kata Rifqi.

Etanol sendiri merupakan senyawa kimia hasil fermentasi bahan nabati seperti tebu, jagung, atau singkong yang digunakan sebagai aditif pada BBM. Di Indonesia, kebijakan pencampuran etanol menjadi bagian dari program energi terbarukan yang dicanangkan pemerintah untuk mengurangi emisi dan ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Amerika Serikat dan Brazil telah menjadi contoh sukses penerapan bahan bakar berbasis etanol dalam skala nasional, di mana penggunaan campuran ini terbukti menekan polusi sekaligus menjaga performa mesin kendaraan.