Haidar Alwi: Indonesia Harus Kelola Logam Tanah Jarang Demi Kemandirian Teknologi Nasional
- Istimewa
Jakarta – Tokoh nasional dan pendiri Haidar Alwi Care serta Haidar Alwi Institute, Haidar Alwi, mengingatkan pentingnya memanfaatkan potensi logam tanah jarang atau rare earth elements (REE) sebagai kunci menuju kemandirian teknologi Indonesia.
Menurut Haidar, Indonesia selama ini duduk di atas kekayaan luar biasa namun belum sungguh-sungguh memanfaatkannya untuk kemajuan bangsa. Padahal, di tengah tren global menuju energi bersih dan revolusi industri tinggi, REE bukan sekadar barang tambang—melainkan tiket masa depan.
“Jangan kita jual tiket masa depan hanya karena tergiur uang tunai hari ini. Logam tanah jarang bukan hanya milik kita—tapi juga hak anak cucu kita,” tegas Haidar, Rabu, 30 Juli 2025.
Dunia Berebut REE, Indonesia Masih Terlena
Logam tanah jarang merupakan elemen vital dalam berbagai perangkat teknologi modern—mulai dari baterai kendaraan listrik, turbin angin, chip komputer, radar militer, hingga sistem satelit dan persenjataan canggih. Tanpa REE, transisi menuju energi hijau dan era digital akan stagnan.
Karena itulah, negara-negara besar kini berlomba mengamankan pasokan REE. Seperti Amerika Serikat kini tegah menjajaki kerja sama bebas tarif dengan Indonesia, India menggelontorkan investasi besar untuk industri magnet REE, Uni Eropa, melalui Critical Raw Materials Act, menjadikan Asia Tenggara—termasuk Indonesia—sebagai prioritas pasokan strategis, dan Tiongkok tetap menjadi pembeli utama REE mentah dari kawasan ini.
Namun ironisnya, Indonesia justru belum serius. Eksplorasi berjalan lambat, hilirisasi setengah hati, dan ekspor mentah masih jadi andalan. Padahal, berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 228.K/MB.03/MEM.G/2025, potensi REE Indonesia sangat besar yakni 136,2 juta ton dalam bentuk bijih, dan 118.650 ton dalam bentuk logam.
“Kalau hanya jadi penyedia bahan mentah, kita akan terus jadi budak teknologi bangsa lain,” ujar Haidar Alwi.
Bangun Rantai Nilai: Dari Tambang ke Teknologi
Menurut Haidar, REE harus dimanfaatkan untuk membangun ekosistem teknologi nasional. Tak cukup hanya membangun smelter, tetapi harus ada visi menyeluruh—dari riset, pemrosesan, hingga industri manufaktur berbasis REE.
“Bayangkan jika Indonesia bisa memproduksi sendiri magnet permanen untuk kendaraan listrik, radar pertahanan, atau generator turbin angin. Semua itu bisa dimulai dari tanah kita sendiri.”
Haidar pun mengusulkan tiga langkah strategis:
- Pusat Riset Teknologi REE Nasional, melibatkan perguruan tinggi, BUMN, dan koperasi teknologi rakyat.
- Zona Hilirisasi Khusus REE, dengan fasilitas pemisahan, pemurnian, dan manufaktur komponen di dalam negeri.
- Regulasi Perlindungan Pasokan Strategis, agar REE tidak diekspor sembarangan dan dikendalikan secara nasional.
Lebih jauh, Haidar mendorong pembentukan koperasi tambang berbasis teknologi yang memungkinkan rakyat ikut berpartisipasi secara langsung—bukan sekadar menjadi buruh tambang.
“Ini bukan soal membatasi asing, tapi membebaskan bangsa sendiri. Teknologi tidak boleh hanya datang dari luar. Harus ada juga yang lahir dari dalam,” ujarnya.
Tiket Masa Depan, Bukan Komoditas Murahan
Di tangan pemimpin berwawasan jangka panjang, REE dapat menjadi alat diplomasi, sumber pertumbuhan ekonomi baru, dan pengungkit transformasi pendidikan teknologi. Namun jika salah arah, REE hanya akan menambah daftar panjang sumber daya yang dieksploitasi tanpa memberi nilai nyata bagi rakyat.
Haidar menekankan pentingnya edukasi generasi muda soal REE. Mulai dari sekolah hingga kampus, REE harus dikenalkan dan dijadikan bagian dari program inovasi nasional.
“Kalau anak-anak kita bisa paham TikTok dan AI, mereka juga bisa paham REE. Tugas kita adalah mempertemukan tanah dengan otak, supaya teknologi masa depan lahir dari Indonesia.”
Ia juga mengusulkan pendirian Lembaga Kedaulatan Mineral Strategis, yang diberi mandat khusus untuk menjaga agar pengelolaan REE tidak dikuasai pihak asing atau mafia tambang. Lembaga ini harus berdiri atas nama kepentingan nasional dan berpihak kepada rakyat.
“Indonesia bukan negara kecil. Kita besar karena tanah ini kaya. Tapi kita akan jadi lebih besar kalau generasi mudanya berani bermimpi dan membangunnya sendiri,” tandas Haidar.
REE: Tiket Menuju Indonesia yang Berdaulat
Logam tanah jarang adalah tiket menuju kemandirian teknologi, kedaulatan kebijakan, dan keadilan ekonomi. Tiket ini tidak boleh ditukar dengan konsesi jangka pendek, tidak boleh digadaikan demi investasi tanpa transfer teknologi, dan tidak boleh dikuasai oleh segelintir elite yang hanya mengejar keuntungan pribadi.
“Kita bisa menjadi bangsa yang menentukan arah teknologi dunia, asal kita punya keberanian untuk berdiri di atas kekayaan sendiri dan membangunnya untuk rakyat sendiri,” pungkas Haidar Alwi.