Menguji Klaim Keberhasilan MBG: Antara Prestasi, Transparansi, dan Pelajaran dari Kasus Keracunan
- Dok. Achmad Nur Hidayat
Penulis: Achmad Nur Hidayat, Ekonom, Pakar Kebijakan Publik dan Dosen UPN Veteran Jakarta
Pidato kenegaraan 15 Agustus 2025 menempatkan Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai lokomotif baru pembangunan manusia.
Presiden menyebut dalam tujuh bulan pelaksanaan telah dicapai hal-hal yang “negara lain butuh belasan tahun”, menciptakan 290 ribu lapangan kerja, melibatkan 1 juta petani–nelayan–peternak–UMKM, menumbuhkan ekonomi desa, hingga meningkatkan kehadiran dan prestasi siswa.
Pertanyaannya: sejauh mana klaim-klaim itu realistis?
Saya melihat dua hal yang sama-sama benar. Pertama, pada skala dan kecepatan, MBG memang lompatan. Dapur-dapur SPPG yang kini tersebar, kapasitas porsi yang terus bertambah, dan antusiasme pemerintah daerah menunjukkan politik kebijakan yang bergerak, bukan hanya direncanakan.
Kedua, justru karena pergerakannya cepat, kita wajib naik kelas dalam cara mengukur, menjelaskan, dan mempertanggungjawabkan hasil.
Klaim “290 ribu lapangan kerja” bisa masuk akal bila definisinya jelas: pekerja penuh waktu, paruh waktu, musiman, atau termasuk relawan?
Apakah tenaga logistik sementara ikut dihitung? Jika definisi dibuka, publik akan mengerti, dan angka besar tidak terasa seperti sulap statistik.
Begitu pula klaim keterlibatan “1 juta pelaku hulu”. Kata “terlibat” bisa berarti memasok sekali, berkala, atau menjadi mitra tetap. Ketiga status ini sama-sama bermanfaat, tetapi dampak ekonominya berbeda.