Kontroversi Kuota Haji Tambahan 20 Ribu Jemaah, Ini Penjelasan Pakar Hukum Tata Negara
- VIVA Jakarta/Edwin Firdaus
VIVA Jakarta - Langkah Menteri Agama atau Menag Yaqut Cholil Coumas yang menetapkan pembagian kuota haji tambahan tahun 2024 dinilai tak melanggar ketentuan hukum. Sebab, hal itu mengacu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Pakar hukum tata negara Oce Madril menjelaskan berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2019, Menag punya kewenangan penuh untuk menetapkan kuota haji tambahan.
Pandangan Oce juga untuk merespons perbedaan terkait pembagian kuota tambahan 20 ribu jemaah haji yang diputuskan dengan komposisi 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen haji khusus.
“Pasal 9 UU 8/2019 secara jelas menyebutkan bahwa jika terdapat penambahan kuota haji Indonesia setelah kuota dasar ditetapkan, menteri agama menetapkan kuota haji tambahan,” kata Oce Madril, dikutip pada Selasa, 30 September 2025.
Pun, dia menuturkan dari ketentuan itu, memberikan dasar hukum atributif bagi menteri untuk menentukan jumlah serta proporsi pembagian tanpa harus mengikuti pola kuota dasar.
Lebih lanjut, Oce menambahkan Pasal 8 dan Pasal 64 UU 8/2019 mengatur komposisi kuota dasar yaitu 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen haji khusus. Namun, pasal itu hanya berlaku pada kuota reguler tahunan, bukan kuota tambahan.
“Penetapan kuota tambahan adalah kondisi khusus, sehingga tidak terikat pada rumus 92 persen dan 8 persen sebagaimana diatur Pasal 64,” jelas dosen Fakultas Hukum UGM itu.
Oce menyebut Pasal 9 ayat (2) UU 8/2019 juga beri kewenangan kepada Menag untuk mengatur mekanisme pengisian kuota tambahan melalui Peraturan Menteri.
Kemudian, ketentuan itu juga dilaksanakan melalui Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler dan Permenag Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perjalanan Ibadah Umrah dan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.
Oce menjelaskan, dari peraturan itu, Menag bisa menetapkan proporsi kuota tambahan dengan mempertimbangkan kondisi lapangan. Hal itu seperti daya tampung asrama, kepadatan di Mina, dan ketersediaan akomodasi.
Dijelaskan Oce, keputusan Menag Nomor 130 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan tahun 1445 H/2024 M merupakan bentuk kewenangan diskresi yang sah.
“Diskresi diberikan undang-undang untuk mengatasi kondisi khusus, dan sepanjang didasarkan pada pasal-pasal yang jelas, kebijakan ini tidak dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang,” tuturnya.
Lalu, Pasal 17 dan 18 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga menegaskan bahwa tindakan pejabat tak dianggap melampaui kewenangan bila memiliki dasar hukum yang jelas.
Menurut Oce, ketentuan lain dalam Pasal 28 Permenag 13/2021 juga menegaskan Menag bisa menetapkan kuota tambahan untuk haji reguler berdasarkan proporsi penduduk muslim antarprovinsi atau jumlah daftar tunggu.
Sementara, Pasal 23 dan Pasal 24 Permenag 6/2021 mengatur mekanisme pengisian kuota haji khusus. Dia mengatakan dengan landasan itu, keputusan Menag menetapkan pembagian 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen haji khusus tetap memiliki payung hukum yang kuat.
Oce bilang selain aspek legalitas, penting juga pertimbangan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan jemaah sebagai alasan kebijakan ini. Surat Menag kepada DPR menjelaskan penyesuaian kuota juga memuat alasan teknis.
Dia menekankan dengan dasar hukum yang jelas dan pertimbangan teknis, keputusan Menag tak hanya sah secara hukum. "Tetapi juga sejalan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik," ujarnya.