KPK Sinyalkan Bakal Tingkatkan Kasus Korupsi Google Cloud dan Kuota Haji ke Penyidikan
- Edwin Firdaus
VIVA, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensinyalkan dua kasus dugaan korupsi besar yang tengah menjadi sorotan publik, yakni Google Cloud di Kemendikbudristek dan pengelolaan kuota haji di Kemenag, bakal naik ke tingkat penyidikan dalam waktu dekat.
Hal itu pun diakui Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, menjelang agenda permintaan keterangan terhadap dua mantan menteri kabinet Presiden Joko Widodo, Nadiem Makarim dan Yaqut Cholil Qoumas, yang dijadwalkan pada Kamis, 7 Agustus 2025.
Fitroh menerangkan, peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan sangat bergantung pada kekuatan fakta dan alat bukti yang berhasil dikumpulkan oleh tim.
"Mudah-mudahan kalau kemudian faktanya, buktinya cukup kuat, KPK akan segera menaikkan status ke tingkat penyidikan," ujar Fitroh Rohcahyanto di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Rabu, 6 Agustus 2025.
Pernyataan ini merupakan respons KPK atas ekspektasi publik yang menantikan gebrakan lembaga antirasuah dalam mengusut tuntas kasus-kasus kakap (big fish), terutama yang diduga melibatkan pejabat tinggi negara.
Langkah konkret KPK terlihat dari pemanggilan serentak terhadap dua mantan menteri.
Nadiem Makarim diketahui bakal dimintai keterangan terkait penyelidikan dugaan korupsi pengadaan layanan Google Cloud yang disinyalir merugikan negara akibat kemahalan harga sewa hingga Rp400 miliar per tahun.
"Karena yang menentukan, untuk pengadaan termasuk Google Cloud ini, itu pasti pada pucuk pimpinannya tertingginya. NM (Nadiem Makarim) nanti pada waktunya kita akan minta keterangan," jelas Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu.
Di hari yang sama, Yaqut Cholil Qoumas rencananya diklarifikasi terkait dugaan korupsi dalam pengelolaan kuota haji tambahan tahun 2024.
Dugaan berpusat pada pengalihan kuota haji reguler menjadi haji khusus untuk keuntungan pihak-pihak tertentu secara melawan hukum.
"Dalam perkara ini dugaannya adalah adanya pengkondisian ya dari kuota haji reguler yang kemudian beralih ke haji khusus," kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.
Sebelumnya, dugaan penyelewengan kuota haji 2024 berawal dari temuan Pansus Angket Haji. Pansus Haji sendiri dibentuk ketika Tim Pengawas atau Timwas Haji DPR menemukan sejumlah masalah krusial penyelenggaraan haji di bawah kewenangan Kemenag tersebut. Menanggapi temuan itu, DPR kemudian menyepakati pembentukan Pansus Haji untuk mengevaluasi pelaksanaan ibadah haji 1445 Hijriah. Pansus ini resmi dibentuk melalui rapat paripurna pada Kamis, 4 Juli 2024.
Pansus Haji DPR meyakini Kemenag melanggar ketentuan pembagian kuota jemaah haji 2024. Anggota Pansus Haji DPR, Wisnu Wijaya, mengatakan pelanggaran pembagian kuota haji terjadi ketika Kemenag merinci kuota jemaah haji menjadi 221.000 kuota haji reguler dan 20.000 kuota haji tambahan.
Dari jumlah kuota tambahan itu, kata dia, Kemenag membaginya menjadi masing-masing 10 ribu slot untuk haji reguler dan khusus. Padahal, berdasarkan hasil rapat Panitia Kerja Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), kuota jemaah haji 2024 sudah ditetapkan sebanyak 241.000, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2024.
“Rinciannya, 221.720 jemaah reguler dan 19.280 jemaah haji khusus,” kata Wisnu pada Sabtu, 14 September 2024.
Lebih lanjut, kata Wisnu, Kemenag tak perlu membagi kuota haji tambahan menjadi dua kategori. Sebab, ketentuan pembagian kuota haji telah diatur dalam Keppres tentang BPIH.
“Kuota tambahan 20 ribu itu sudah diakomodir di dalam 241.000 kuota jemaah haji 2024, ini disepakati dalam rapat Komisi VIII dengan Kemenag pada 27 November 2023,” ujarnya.
Politisi PKS ini mengatakan keputusan Kemenag membagi kuota tambahan menjadi dua kategori berpotensi melanggar UU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Penetapan kuota haji tambahan itu, kata Wisnu, tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 64 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah karena melebihi delapan persen dari total kuota jemaah haji.
“Artinya, pembagian kuota haji tambahan menjadi masing-masing 10 ribu untuk haji reguler dan khusus lewat Keputusan Menteri Agama tidak sah alias ilegal karena tidak ada dasar hukumnya,” kata Wisnu.