LAB 45: Demokrasi RI Gagal Jadi Katalis Bagi Kelestarian Lingkungan
- Dok. Istimewa
VIVA Jakarta – Indonesia kerap dipuji sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Sejak era reformasi, ruang partisipasi masyarakat terbuka luas, transparansi meningkat, dan tata kelola pemerintahan digadang lebih baik. Secara teori, demokrasi seharusnya mendorong terciptanya pembangunan berkelanjutan dan perlindungan lingkungan hidup.
Namun kenyataan berbicara sebaliknya. Hutan terus ditebang, energi fosil tetap dominan, dan regulasi justru makin melemah. Alih-alih melindungi, demokrasi Indonesia tampak kesulitan menjadi katalis bagi kelestarian lingkungan.
Teori yang Patah di Lapangan
Dalam kajian ekonomi lingkungan, dikenal konsep Environmental Kuznets Curve (EKC). Teori ini menyebutkan bahwa ketika suatu negara mencapai titik puncak pertumbuhan ekonomi, kerusakan lingkungan akan menurun seiring meningkatnya kesadaran dan kemampuan untuk menjaga kelestarian.
Tim analis LAB 45 memaparkan hasil penelitian
- Dok. LAB 45
Indonesia disebut sudah berada di titik itu. Tetapi alih-alih menurun, kerusakan lingkungan tetap terjadi.
“Demokrasi seharusnya bisa menjadi katalis untuk kemudian membuat Indonesia bisa menciptakan lingkungan hidup yang lebih lestari, secara hitung-hitungan kita nyampe nih udah EKC-nya, titik puncaknya itu udah ada, tapi kok kondisinya begini ya? Penebangan masih ada, kemudian kita masih bergantung pada penggunaan energi yang tidak terbarukan,” kata Analis Ekonomi Politik LAB45, Indah Lestari Saani.